A. Pengertian Fiqih Mu’amalah.
Pengertian fiqih mu’amalah tersusun atas dua
kata, yaitu fiqih dan mu’amalah.Kata
fiqih secara etimologis berakar pada kata kerja yaitu : فَقَهَ – يُفَقِهُ – فَقْهًا – اَىْ فَهْمَهُ yang artinya paham, mengerti, pintar dan kepintaran.[1]Menunjukkan kepada “maksud sesuatu” atau
“ilmu pengetahuan”.Secara terminologis, fiqih adalah hukum-hukum syara’ yang
bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci.[2] Sedang mu’amalah
secara bahasa berasal dari kata : “aamala – yuaamilu – mu’amalatan”,
yang artinya saling berbuat dan saling mengamalkan.[3]Sedangkan mu’amalah secara terminologi
dapat diartikan sebagai aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan
tentang manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat
keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.[4]
Menurut pengertian di atas, fiqih mu’amalah
dapat didefinisikan sebagai hukum syara’ yang bersifat amaliah yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan
hidup.
B. Pembagian Fiqih Mu’amalah.
Pembagian fiqih mu’amalah ini sangat berkaitan
dengan pandangan fuqoha dalam mendefinisikan pengertian fiqih mu’amalah dalam
arti luas atau arti sempit. Menurut Ibn ‘Abidin, fiqih mu’amalah dibagi menjadi
lima bagian :[5]
1. Mu’amalah Maliyah ( Hukum Kebendaan).
2. Munakahat( Hukum Perkawinan).
3. Muhasanat ( Hukum Acara).
4. Amanat dan “Ariyah (Pinjaman).
5. Tirkah( Harta Peninggalan).
Sedangkan Al-Fikri dalam kitabnya “Al-Mu’amalah
al-Madiyah wa al-Adabiyah” menyatakan, bahwa mu’amalah dibagi menjadi dua
bagian, sebagi berikut :[6]
1. Al-Mu’amalah al-Madiyah, yaitu mu’amalah yang menkaji dari dimesi obyeknya.Sebagian
ulama’ berpendapat bahwa mu’amalah al-madiyah adalah mu’amalah yang bersifat
kebendaan, karena obyek fiqih mu’amalah meliputi benda yang halal, haram dan
syubhat untuk diperjualbelikan; benda-benda yang membahayakan; dan benda-benda
yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia.
Karena itu aktifitas bisnis seorang muslim tidak hanya
berorientasi untuk mendapatkan keuntungan materiil semata, tetapi praktek
bisnis tersebut harus dilandasi oleh nilai-nilai sakral agama,[7]dalam rangka untuk mendapatkan ridho Allah
SWT.
2. Al-Mu’amalah al-Adabiyah, yaitu mu’amalah yang ditinjau dari cara
tukar-menukar benda , yang bersumber dari panca indera manusia, yang unsur
penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, misalnya jujur, hasud,
dengki dan dendam.
Mu’amalah al-Adabiyah yang dimaksud adalah aturan-aturan Allah yang wajib diikuti
berkaitan dengan aktifitas manusia dalam hidup bermasyarakat yang ditinjau dari
segi subyeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya.Adabiyah ini berkisar dalam keridhaan antara kedua
belah pihak saat melakukan akad, sehingga tidak boleh terjadi unsur dusta, atau
menipu di dalamnya.
C. Ruang Lingkup Fiqh Mu’amalah.
Berdasarkan pembagian Fiqih Mu’amalah di atas, maka ruang
lingkup Fiqih Mu’amalah terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Ruang lingkup Mu’amalah Adabiyah.
Ruang lingkup mu’amalah yang bersifat adabiyah adalah ijab dan
qabul, saling meridhoi, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan
kewajiban, kejujuran pedangan, penipuan, pemalsuan, penimbunan dan segala
sesuatu yang terdapat kaitannya dengan pendistribusian harta dalam hidup
bermasyarakat.
2. Ruang lingkup Mu’amalahMadiyah.
Ruang lingkup pembahasan Mu’amalah Madiyah ialah masalah jual
beli (al-bai’ wa al-tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan
tanggungan (kafalah dan dhaman), perseroan atau perkongsian (al-syirkah),
perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah), sewa-menyewa (al-ijarah),
pemberian hak guna pakai (al-a’riyah), barang titipan (al-wadhi’ah),
barang temuan (al-luqathah), garapan tanah (al-muzara’ah), sewa
menyewa tanah (al-mukhabarah), upah (ujrah al-‘amal), gugatan (syuf’ah),
sayembara (al-ji’alah), pembagian kekayaan bersama (al-qismah),
pemberian (al-hibbah), pembebasan (al-ibra), damai (as-sulhu),
dan ditambah dengan permasalahan kontemporer (al-mungasirah) seperti
masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan lain-lain.[8]